Hujan (2)

Aku buru – buru memeriksa buku sketsa itu, apakah ada yang memalukan atau tidak.

Hampir semua buku sketsa ku berisi hal – hal yang menurut aku indah. Salah satunya Rumi, dirinya muncul dua kali di dalam bukuku. Yang pertama, saat dia bermain gitar di Pentas Seni January lalu. Dan yang kedua, saat dia duduk di bis sedang memandang matahari dari jendela itu, pantulan cahaya matahari yang masuk menerangi setiap lekukan wajahnya seolah bergerak. Tapi sketsa itu belum selesai, hanya bagian kepalanya saja sisanya tidak sempat aku ingat. Hehe, konyol pikirku.

Apakah aku menyukai dia? Tidak juga. Bagiku dia sekedar objek indah yang ku kagumi melalui kacamata kotakku. Ah, tapi bagaimana jika dia sempat melihat sketsaku ini dan berpikir kalau aku jatuh cinta dengannya. Ah sudahlah, buat apa mempersulit diri dengan memikirkan hal konyol, kalaupun dia berpikir aku suka dia memangnya kenapa, pasti banyak sekali yang suka dia. Pasti bukan hal yang aneh kan baginya.

Aku meletakan buku itu di atas meja, dan kemudian kembali berniat pergi ke kantin. Hera sepertinya sudah tidak sabar. Kelaparan.

“Cepet dong.” Protesnya.

Sesampainya dikantin benar saja tempat itu sudah sangat amat ramai. Kami berdua bingung duduk dimana. Celingak celinguk menerawang kali saja ada tempat kosong buat kami, kemudian seseorang melambaikan tangannya kearah kami.

“Yuta!” Teriak Hera senang, kemudian kami mendatangi bangku yang sudah disiapkan pemuda itu.

“Terimakasih” Aku mengucapkan terimakasih kepada Yuta.

“Sa-ma, Sa-ma” Yuta membalasnya dengan menggunakan sign language. Ya, Yuta tidak bisa berbicara.

Dia adalah temanku dikelas yang berbeda, dialah yang pertama kali mengajarkanku bagaimana cara menggambar ketika kami masih duduk dibangku SMP.

Jika orang – orang melihat karya Yuta, mereka akan terkagum takjub. Yuta adalah salah satu kebanggan sekolahku, sudah banyak memenangi berbagai lomba.

Dia adalah “kesunyian yang indah” dimataku. Sayangnya, dia tidak sepercaya diri itu. Yuta lebih suka menyendiri, minder katanya dengan kekurangan yang Ia miliki. Padahal, Ia sempurna.

Kami menghabiskan istirahat siang itu, dengan gembira. Ya, seperti normalnya anak – anak SMA. Ya, kami adalah tiga orang anak SMA biasa.

Setelah kami selesai jajan dan beristirahat dikantin, aku dan Hera balik kembali menuju kelas. Di dalam perjalanan kami berbincang – bincang santai.

“Tadi kenapa buku sketsa kamu ada di Rumi?” Tanya Hera.

“Mungkin jatuh di bis waktu berangkat pagi tadi.” Balasku.

Hera mengangguk, dia tau rumahku tidak jauh dari rumah Rumi. Dia juga tahu bahwa aku dan Rumi sering berbagi bis yang sama. Tak lama dari itu kami tiba dikelas dan akupun kembali duduk dimejaku.

Tapi, kok buku sketsaku tidak ada di atas mejaku. Perasaan aku tadi meletakannya disini. Aku mulai panik.

“Kemana buku itu!” Pikirku dalam hati.

(Bersambung..)

Satu pemikiran pada “Hujan (2)

  1. Ping balik: Hujan (3) | Riachann's Blog

Tinggalkan komentar